Dalam rangka mengembangkan toleransi dan sikap saling memahami kehidupan antar umat beragama , Komunitas Peace in Diveristy (PiD) Malang menyelenggarakan diskusi bulanan di Vihara Dharma Mitra Malang terkait eksistensi dan problematika Jemaat Ahmadiyah. Pada diskusi ini, hadir pemateri dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Malang yaitu Maulana, Yama, Widi, dan Okky.
Diskusi dimulai dengan pemaparan singkat mengenai Ahmadiyah. “Jemaat Ahmadiyah sebenarnya merupakan suatu gerakan umat Islam yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889. Ahmadiyah bukan suatu agama baru. Kami Islam. Kami menjunjung tinggi kalimat syahadat. Kami juga mengimani kitab suci Al-Qur’an.” Jelas Okky. “Namun berita yang beredar di luar sana bahwa kami memiliki perbedaan di dalam pengucapan syahadat adalah tidak benar. Selain itu kami dianggap memiliki kitab suci lain selain Al-Qur’an, yakni Tazkirah. Tazkirah sebenarnya hanya merupakan kumpulan wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad yang kami imani sebagai Imam Mahdi.” Lanjutnya kemudian.
Permasalahan Jemaat Ahmadiyah mulai muncul sejak tahun 1980, dimana banyak masyarakat yang membenci Jemaat Ahmadiyah. Tempat tinggal dan masjid mereka dirusak dan dibakar. Beberapa jemaat ada yang diserang bahkan dibunuh. Masalah menjadi kian kompleks ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah pada tahun 2005. “Kami dinyatakan sesat dan menyesatkan. Padahal kami sama seperti muslim yang lain. Kami membaca kalimat syahadat. Sholat 5 waktu wajib bagi kami. Bahkan kami diharuskan melakukan sholat tahajud. Kami juga menunaikan zakat, puasa, dan berhaji bagi yang mampu. Apa yang menyimpang dari kami? Dampak dari adanya fatwa ini, kami kerap mendapat anggapan yang buruk dari masyarakat, seperti kebencian dan caci maki.” Ungkap Okky.
Lebih lanjut, MUI telah mempersilahkan Ahmadiyah untuk berkembang asalkan tidak memakai nama Islam. “Bagaimana mungkin kami diminta untuk membentuk agama Ahmadiyah? Kami melaksanakan rukun Islam dan rukum iman. Kami juga mengacu kepada Al-Qur’an, menyembah Tuhan yang sama, dan sholat kami pun sama seperti muslim lainnya. Tapi kami dikatakan bukan Islam. Lantas jika kami diminta untuk membentuk agama Ahmadiyah, bukankah justru itu yang sesat?” tanya Maulana.
Seperti yang kita ketahui, pada tahun 2008, terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri mengenai peringatan kepada Jemaat Ahmadiyah. Dalam SKB tersebut, Jemaat Ahmadiyah dilarang untuk menyebarkan ajarannya. “Banyak masyarakat yang salah mengartikan SKB ini. Seolah-olah SKB ini bisa menjustifikasi untuk membubarkan kami. Kalau memang ajaran kami ini salah, pasti akan hancur dengan sendirinya. Tapi sejauh ini saya melihat bukan kemunduran, melainkan peningkatan yang pesat di beberapa negara Eropa dan Amerika.” Jelas Maulana.
Lantas kemudian, bagaimana respon Jemaat Ahmadiyah terhadap perlakuan yang mereka terima selama ini? “Kami tidak menuntut penghapusan fatwa MUI tersebut maupun SKB 3 menteri. Justru lembaga lain yang membantu kami untuk menuntut penghapusan fatwa dan SKB tersebut. Upaya kami adalah dengan melakukan ‘perlawanan halus’. Kami melawan dengan sikap dan perilaku kami. Biar masyarakat yang melihat dan menilai kami atas apa yang dikatakan oleh oknum tertentu.” Ujar Maulana.
Diskusi ini dihadiri teman-teman lintas iman yang tergabung di dalam Komunitas Peace in Diversity (PiD). Diharapakan diskusi-diskusi semacam ini bisa rutin diadakan setiap bulannya dengan tema dan lokasi yang berbeda.